Karinding, many people who do not know more about Sundanese traditional musical instruments. According to the description of various media and Internet karinding is called as a game tool, association or musical instrument used by farmers to accompany the activities of planting crops and during the arriving harvest season that is played to repel pests in the field .
The karinding of a traditional musical instrument that took out the sound of vibrating and buzzing is estimated to have existed since six centuries ago. Karinding is based on the language from Ka Ra Da Hyang which means accompanied by the prayers of the Almighty. Or there is also the meaning of Ka = source and Rinding = sounds so it means sound source.
In other areas in Indonesia there are musical instruments such as karinding with various names and different modes of play such as Riding (Cirebon), Rinding (Central Java), Genggong (Bali), Slober (Lombok), Pikon (Papua), Dunga (Sulawesi), Karindang (Kalimantan), Sagasaga (Sumatra). And there are also some places outside the country named it with the Jewsharp.
According to Faith Rahman Anggawiria Kusumah (40) or more familiarly called Kimung, which is one of the rock music of in the city of Bandung, before becoming a musical instrument there is a long process that was passed. Karinding was created to be a guideline for natural and environmental management.
This philosophy is still held until now by the karinding. Therein there are divine norms, humanity, societal, legal time, law set state, and then determine population demographics.
"Because these are the guidelines of people to manage nature and the environment, then he must be inherited," he explained when found RSM Traveller during process project recordings of a compilation of the album together with Friends in the music studio Bandung Creative Hub Jalan Laswi No. 7, Bandung City.
Anciently, the karinding was first given to the young child, with the expectation of a small child already understanding the shakes and buzz produced by the karinding that became the backdrop of the early natural and environmental management. For small children, it is only limited to being a tool for Kaulinan.
When they grow up, they start through puberty and the carriage is used as a musical instrument between the young kaules to attract the opposite sex with his distinctive voice that can be an appeal. When they are married then have a house, paddy fields and fields that is where the karinding becomes a musical instrument that then coloring the activities of their life that is a farmer.
"Throughout these three functions, the Kaulinan, the association, and the instrument of agricultural instruments appear aesthetic expressions If for example, when the Cewe dating using a special tone, and a secure reply is replied with a special tone as well, these aesthetic patterns that then become Musical patterns "he explained.
Today, according to the Kimung that appears to the surface of the karinding as an aesthetic expression and functions that have been lost because of natural and environmental conditions have also changed.
"As a Barudak Kaulinan not, the association is not because it is now sophisticated people live to send WA, and agriculture is also not because of the farm mah GA pake karinding, so more to the aesthetic expression, made a music, made a song, Performance, science production and others, "said Kimung.
While discussing with RSM Traveller, Kimung explained that there is a very deep philosophy contained in the musical instruments that make it the only musical instrument in the world that means to play it is Ditabeuh (hit). According to the Sundanese people believe that the universe is formed through a large process (BigBang theory), but there is a previous nature that is not much discussed by the science of the BigBang theory.
On the belief of Sundanese people itself there is an empty nature according to the fairy tale Batara Guru in the puppet where the nature of the Koson is suddenly vibrating then to the sound of the drone then berdentum and it came to life.
"Well this life is to be nourished and people try to understand this life from the buzzing voice. Notice how the spirituality of the anciently they cultivate an existing sura hum in their body, such as the sound of Hmm, HoAM was Begetardi head and oral cavity. When it is done repetitious and familiarized to the limbic brain opening and in this condition, the human reaches an ecstasy level, "he said.
In addition, the musical instrument Karinding with a simple form consists of a philosophy confident, patient, conscious.
"Hold confidently, by patiently speaking, then we must realize that it is not our voice. Da our voice mah not like that "he said.
The philosophy of confident, conscious, patient still according to Kimung if made a guideline is a representation of the three geopolitical parts of the mountain. In Sundanese language There is the term Leuweung prohibition (forest as the source), Leuweung cover (forest as a reserve) and Leuweung Baladahan (forest as a place of gardening and farming).
In the process Leuweung experienced a very long phase-fasae until the process was completed. And after Leuweung, there is a river divided into three namely Sanghyang Walungan, Sanghyang Susukan, and Sanghyang Solokan. This land and water is a forest and a river.
When everything is set up becomes a country, there is a small country category that has only one spring, a country with two interconnected water and a large country with more than two springs intertwined Until it rises in the ocean.
It is here a country determined the number of countries based on the distance between the ban Leuweung, Leuweung cover and Leuweung Baladahan. The indicator is where a country has over-population and is not appropriate then Leuweung Baladahan will take Leuweung cover, and will take also Leuweung cover then that happens is a disaster.
"Well so Leuweung prohibition of his place of spirituality, then must be held with confidence, Leuweung cover where science should then be aware, and Leuweung Baladahan or Leuweung production where the business then must be patient" he explained.
From that philosophy, the divine norms, humanity, society, the Law of time, the law stipulates the state, then determines the demographic of the population, therefore the karinding is not merely a musical instrument but also as a guideline of natural management and Environment.
Karinding, banyak orang yang belum mengenal lebih dalam tentang alat musik tradisional Sunda ini. menurut keterangan berbagai macam media dan internet karinding disebut sebagai alat permainan, pergaulan ataupun alat musik yang digunakan petani untuk menemani aktivitas bercocok tanam dan pada saat musim panen tiba yang dimainkan untuk mengusir hama di ladang.
Karinding sebuah alat musik tradisional yang mengeluarkan suara getar dan dengung ini diperkirakan sudah ada sejak enam abad yang lalu. Karinding menurut bahasa teridiri dari kata Ka Ra Da Hyang yang artinya dengan diiringi oleh doa sang Maha Kuasa. Atau ada juga yang mengartikan Ka=sumber dan Rinding= bunyi jadi artinya sumber bunyi.
Di wilayah lain di Indonesia pun terdapat alat musik semacam karinding dengan berbagai macam nama dan cara memainkannya yang berbeda-beda seperti Riding (Cirebon), Rinding (Jawa Tengah), Genggong (Bali), Slober (Lombok), Pikon (Papua), Dunga (Sulawesi), Karindang (Kalimantan), Sagasaga (Sumatera). Dan ada juga beberapa tempat diluar negeri menamainya dengan jewsharp.
Menurut Iman Rahman Anggawiria Kusumah (40) atau yang lebih akrab disapa Kimung, yang merupakan salah satu dedengkot musik cadas di Kota Bandung, sebelum menjadi alat musik pertanian ada proses panjang yang dilaluinya. Karinding diciptakan untuk menjadi pedoman pengelolaan alam dan lingkungan hidup.
Filosofi inilah yang masih dipegang sampai sekarang oleh karinding. Di dalamnya ada norma-norma ketuhanan, kemanusiaan, kemasyarakatan, ada hukum waktu, hukum menetapkan kenegaraan, kemudian menentukan demografi kependudukan.
“Karena karinding ini pedoman orang untuk mengelola alam dan lingkungan hidup, maka dia harus diwariskan,” terangnya saat ditemui RSM Traveller disela-sela proses projek rekaman album kompilasi karinding bersama kawan-kawannya di ruangan studio musik Bandung Creative Hub Jalan Laswi No.7, Kota Bandung.
Zaman dahulu, karinding pertama kali diberikan kepada anak kecil, dengan harapan dari kecil sang anak sudah memahami getar dan dengung yang dihasilkan oleh karinding yang menjadi latar belakang awal pengelolaan alam dan lingkungan hidup. Bagi anak kecil karinding hanya sebatas menjadi alat kaulinan (permainan) saja.
Ketika mereka beranjak dewasa, mereka mulai melalui masa-masa pubertas dan karinding dijadikan sebagai alat musik pergaulan antara kaula muda untuk menarik lawan jenis dengan suara khasnya yang bisa menjadi daya pikat. Ketika mereka menikah kemudian mempunyai rumah, sawah dan ladang di situlah karinding menjadi alat musik pertanian yang kemudian mewarnai aktifitas kehidupan mereka yang notabene adalah petani.
“Sepanjang tiga fungsi ini, kaulinan, pergaulan, dan alat musik pertanian muncul ekspresi-ekspresi estetis kalau misalnya ngajak kencan cewe menggunakan nada khusus, dan kalo aman dibalas dengan nada khusus juga, pola-pola estetis itulah yang kemudian menjadi pola-pola musikal” jelasnya.
Dizaman sekarang menurut Kimung yang muncul ke permukaan yaitu karinding sebagai ekpresi estetis dan fungsi-fungsi yang dulunya sudah hilang karena kondisi alam dan lingkungan pun sudah berubah.
“Dijadikan kaulinan barudak tidak, pergaulan juga tidak karena sekarang sudah canggih orang ngajak main tinggal kirim WA, dan pertanian juga tidak karena pertanian mah ga pake karinding, jadi lebih ke ekspresi estetis, dibikin jadi suatu musik, dibikin lagu, pagelaran, produksi ilmu pengetahuan dan lain-lain,” ujar Kimung.
Saat berbincang dengan RSM Traveller, Kimung menjelaskan ada filosofi yang sangat dalam terkandung dalam alat musik karinding yang menjadikannya satu-satunya alat musik di dunia yang cara memainkannya ditabeuh (dipukul). Menurutnya orang Sunda mempercayai bahwasanya alam semesta ini terbentuk melalui proses dentuman besar (teori bigbang), tetapi ada alam sebelumnya yang tidak banyak dibahas oleh sains yang berteori bigbang ini.
Pada kepercayaan masyarakat Sunda sendiri ada suatu alam kosong menurut dongeng batara Guru dalam pewayangan dimana alam koson ini tiba-tiba bergetar kemudian melahrikan suara dengung kemudian berdentum dan terjadilah kehidupan.
”Nah kehidupan ini kan harus dipelihara dan orang mencoba memahami kehidupan ini dari suara dengung itu. Perhatikan cara spiritualitas orang-zaman dahulu mereka mengolah sura dengung yang ada dalam tubuh mereka, seperti suara hmm, hoam itu begetardi kepala dan rongga mulut. Ketika itu dilakukan secara diulang-ulang dan dibiasakan limbik otak belakang kebuka dan didalam kondisi ini manusia itu mencapai tingkat ekstase," ujarnya.
Selain itu, alat musik Karinding dengan bentuk sederhananya terdiri memiliki filosofi yakin, sabar, sadar.
“Pegang dengan yakin, pukul dengan sabar ketika bersuara maka kita harus menyadari bahwa itu bukanlah suara kita. Da suara kita mah tidak seperti itu” ucapnya.
Filosofi yakin, sadar, sabar masih menurut Kimung jika dijadikan pedoman merupakan representasi dari tiga bagian geopolitik gunung. Dalam bahasa Sunda terdapat istilah leuweung larangan (hutan sebagai sumber), leuweung tutupan (hutan sebagai cadangan) dan leuweung baladahan (hutan sebagai tempat berkebun dan bertani).
Dalam prosesnya leuweung mengalami fase-fasae yang sangat lama sampai proses tersebut selesai. Dan setelah leuweung, ada sungai yang terbagi menjadi tiga yaitu sanghyang walungan, sanghyang susukan, dan sanghyang solokan. Tanah dan air inilah menjadi hutan dan sungai.
Ketika semuanya sudah tertata barulah ditetapkan menjadi suatu negara, ada kategori negara kecil yang hanya mempunyai satu mata air, negara sedang dengan dua mat air yang saling berhubungan dan negara besar yang memiliki lebih dari dua mata air saling berhubugan sampai bermuara di lautan.
Di sinilah suatu negara ditentukan jumlah negaranya berdasarkan jarak antara leuweung larangan, leuweung tutupan dan leuweung baladahan. Indikatornya adalah dimana suatu negara memliki over populasi dan tidak sesuai maka leuweung baladahan akan mengambil leuweung tutupan, dan akan mengambil juga leuweung tutupan maka yang terjadi adalah bencana.
“Nah jadi leuweung larangan tempatnya spiritualitas, maka harus dipegang dengan yakin, leuweung tutupan tempatnya ilmu maka harus sadar, dan leuweung baladahan atau leuweung produksi tempatnya usaha maka harus sabar” jelasnya.
Dari filosofi itulah norma-norma ketuhanan, kemanusiaan, kemasyarakatan, hukum waktu, hukum menetapkan kenegaraan, kemudian menentukan demografi kependudukan, maka dari itu karinding bukan sekedar alat musik tapi juga sebagai pedoman pengelolaan alam dan lingkungan hidup.
Karinding sebuah alat musik tradisional yang mengeluarkan suara getar dan dengung ini diperkirakan sudah ada sejak enam abad yang lalu. Karinding menurut bahasa teridiri dari kata Ka Ra Da Hyang yang artinya dengan diiringi oleh doa sang Maha Kuasa. Atau ada juga yang mengartikan Ka=sumber dan Rinding= bunyi jadi artinya sumber bunyi.
Di wilayah lain di Indonesia pun terdapat alat musik semacam karinding dengan berbagai macam nama dan cara memainkannya yang berbeda-beda seperti Riding (Cirebon), Rinding (Jawa Tengah), Genggong (Bali), Slober (Lombok), Pikon (Papua), Dunga (Sulawesi), Karindang (Kalimantan), Sagasaga (Sumatera). Dan ada juga beberapa tempat diluar negeri menamainya dengan jewsharp.
Menurut Iman Rahman Anggawiria Kusumah (40) atau yang lebih akrab disapa Kimung, yang merupakan salah satu dedengkot musik cadas di Kota Bandung, sebelum menjadi alat musik pertanian ada proses panjang yang dilaluinya. Karinding diciptakan untuk menjadi pedoman pengelolaan alam dan lingkungan hidup.
Filosofi inilah yang masih dipegang sampai sekarang oleh karinding. Di dalamnya ada norma-norma ketuhanan, kemanusiaan, kemasyarakatan, ada hukum waktu, hukum menetapkan kenegaraan, kemudian menentukan demografi kependudukan.
Tempat Wisata Terbaik Di Tasik Yang Tidak Akan Penah Terlupakan
“Karena karinding ini pedoman orang untuk mengelola alam dan lingkungan hidup, maka dia harus diwariskan,” terangnya saat ditemui RSM Traveller disela-sela proses projek rekaman album kompilasi karinding bersama kawan-kawannya di ruangan studio musik Bandung Creative Hub Jalan Laswi No.7, Kota Bandung.
Zaman dahulu, karinding pertama kali diberikan kepada anak kecil, dengan harapan dari kecil sang anak sudah memahami getar dan dengung yang dihasilkan oleh karinding yang menjadi latar belakang awal pengelolaan alam dan lingkungan hidup. Bagi anak kecil karinding hanya sebatas menjadi alat kaulinan (permainan) saja.
Ketika mereka beranjak dewasa, mereka mulai melalui masa-masa pubertas dan karinding dijadikan sebagai alat musik pergaulan antara kaula muda untuk menarik lawan jenis dengan suara khasnya yang bisa menjadi daya pikat. Ketika mereka menikah kemudian mempunyai rumah, sawah dan ladang di situlah karinding menjadi alat musik pertanian yang kemudian mewarnai aktifitas kehidupan mereka yang notabene adalah petani.
“Sepanjang tiga fungsi ini, kaulinan, pergaulan, dan alat musik pertanian muncul ekspresi-ekspresi estetis kalau misalnya ngajak kencan cewe menggunakan nada khusus, dan kalo aman dibalas dengan nada khusus juga, pola-pola estetis itulah yang kemudian menjadi pola-pola musikal” jelasnya.
Dizaman sekarang menurut Kimung yang muncul ke permukaan yaitu karinding sebagai ekpresi estetis dan fungsi-fungsi yang dulunya sudah hilang karena kondisi alam dan lingkungan pun sudah berubah.
“Dijadikan kaulinan barudak tidak, pergaulan juga tidak karena sekarang sudah canggih orang ngajak main tinggal kirim WA, dan pertanian juga tidak karena pertanian mah ga pake karinding, jadi lebih ke ekspresi estetis, dibikin jadi suatu musik, dibikin lagu, pagelaran, produksi ilmu pengetahuan dan lain-lain,” ujar Kimung.
Saat berbincang dengan RSM Traveller, Kimung menjelaskan ada filosofi yang sangat dalam terkandung dalam alat musik karinding yang menjadikannya satu-satunya alat musik di dunia yang cara memainkannya ditabeuh (dipukul). Menurutnya orang Sunda mempercayai bahwasanya alam semesta ini terbentuk melalui proses dentuman besar (teori bigbang), tetapi ada alam sebelumnya yang tidak banyak dibahas oleh sains yang berteori bigbang ini.
Pada kepercayaan masyarakat Sunda sendiri ada suatu alam kosong menurut dongeng batara Guru dalam pewayangan dimana alam koson ini tiba-tiba bergetar kemudian melahrikan suara dengung kemudian berdentum dan terjadilah kehidupan.
”Nah kehidupan ini kan harus dipelihara dan orang mencoba memahami kehidupan ini dari suara dengung itu. Perhatikan cara spiritualitas orang-zaman dahulu mereka mengolah sura dengung yang ada dalam tubuh mereka, seperti suara hmm, hoam itu begetardi kepala dan rongga mulut. Ketika itu dilakukan secara diulang-ulang dan dibiasakan limbik otak belakang kebuka dan didalam kondisi ini manusia itu mencapai tingkat ekstase," ujarnya.
Selain itu, alat musik Karinding dengan bentuk sederhananya terdiri memiliki filosofi yakin, sabar, sadar.
“Pegang dengan yakin, pukul dengan sabar ketika bersuara maka kita harus menyadari bahwa itu bukanlah suara kita. Da suara kita mah tidak seperti itu” ucapnya.
Filosofi yakin, sadar, sabar masih menurut Kimung jika dijadikan pedoman merupakan representasi dari tiga bagian geopolitik gunung. Dalam bahasa Sunda terdapat istilah leuweung larangan (hutan sebagai sumber), leuweung tutupan (hutan sebagai cadangan) dan leuweung baladahan (hutan sebagai tempat berkebun dan bertani).
Dalam prosesnya leuweung mengalami fase-fasae yang sangat lama sampai proses tersebut selesai. Dan setelah leuweung, ada sungai yang terbagi menjadi tiga yaitu sanghyang walungan, sanghyang susukan, dan sanghyang solokan. Tanah dan air inilah menjadi hutan dan sungai.
Ketika semuanya sudah tertata barulah ditetapkan menjadi suatu negara, ada kategori negara kecil yang hanya mempunyai satu mata air, negara sedang dengan dua mat air yang saling berhubungan dan negara besar yang memiliki lebih dari dua mata air saling berhubugan sampai bermuara di lautan.
Di sinilah suatu negara ditentukan jumlah negaranya berdasarkan jarak antara leuweung larangan, leuweung tutupan dan leuweung baladahan. Indikatornya adalah dimana suatu negara memliki over populasi dan tidak sesuai maka leuweung baladahan akan mengambil leuweung tutupan, dan akan mengambil juga leuweung tutupan maka yang terjadi adalah bencana.
“Nah jadi leuweung larangan tempatnya spiritualitas, maka harus dipegang dengan yakin, leuweung tutupan tempatnya ilmu maka harus sadar, dan leuweung baladahan atau leuweung produksi tempatnya usaha maka harus sabar” jelasnya.
Dari filosofi itulah norma-norma ketuhanan, kemanusiaan, kemasyarakatan, hukum waktu, hukum menetapkan kenegaraan, kemudian menentukan demografi kependudukan, maka dari itu karinding bukan sekedar alat musik tapi juga sebagai pedoman pengelolaan alam dan lingkungan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar